Bantuan sosial (bansos) kini bisa didapatkan dalam bentuk nontunai.
Kementerian Sosial (Kemensos) dalam beberapa waktu terakhir kian gencar
menguatkan program elektronik warung (e-Warung). Sehingga, cakupan
pelayanan nontunai semakin luas bagi keluarga penerima bansos.
Teranyar, Menteri Khofifah Indar Parawansa meresmikan e-Warung di
Kelurahan Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat, pada Kamis (18/8).
Itu tercatat sebagai e-Warung ketujuh di Indonesia sejauh ini. Namun,
apa yang melatarbelakangi di balik gagasan e-Warung itu? Mengapa
masyarakat penerima bansos dianggap perlu akrab dengan sistem keuangan
nontunai?
Dalam konteks itu, Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos Andi ZA Dulung memaparkannya kepada wartawan Republika,
Hasanul Rizqa, Selasa (9/8).
Apa latar belakang di balik program e-Warung dari Kemensos ini?
E-Warung itu sebetulnya dari arahan Bapak Presiden. Supaya, semua
bansos (bantuan sosial) sebisa mungkin disalurkan secara nontunai. Itu
dalam rangka mendukung keuangan inklusif, mengurangi cash.
Kemudian, kita terjemahkan keinginan Presiden. Oke, kalau begitu, di
Kementerian Sosial, ada dua yang besar, yakni Program Keluarga Harapan
(PKH) dan Beras untuk Keluarga Sejahtera (Rastra) yang dulu namanya
raskin. Kita juga punya program Kelompok Usaha Bersama (KUBE), yakni
pemberdayaan.
Akhirnya, kita putuskan membuat elektronik warung
(e-Warung). Ini warung biasa, tapi elektronik. Mengapa elektronik?
Karena, di situ, sesuai arahan Presiden, berlakunya (transaksi)
nontunai. Lalu, dalam rangka penyaluran itu (bansos), kita menggunakan
bank serta dengan teknologi yang bank miliki.
Kapan pertama kali e-Warung diluncurkan?
E-Warung ini kita pertama kali diluncurkan pada Juni 2016 di Kota
Malang. Dan, sekarang sudah mencapai kota yang keenam. Sesudah Malang,
ada Sidoarjo, Mojokerto, Makassar, Padang, dan Surabaya. Alhamdulillah,
Juni di Malang sudah langsung kita bangun enam e-Warung. Sehingga, sudah
meliputi 100 persen penduduk penerima PKH. Uangnya sudah bisa
disalurkan melalui nontunai.Tiap kota berbeda-beda jumlah penerima
PKH-nya. Misalnya, Malang, yang saya ingat, itu 4.300 kepala keluarga
(KK).
Apa saja kelebihan yang e-Warung tawarkan dalam konteks teknologi?
Nah, setiap e-Warung itu, pertama-tama dia merupakan agen bank.
E-Warung otomatis menjadi agen bank. Karena, di situlah tempat
disalurkannya bantuan. Kedua, dia merupakan tempat transaksi untuk beli
sembako. Karena, uang yang dia terima itu sebisa mungkin dia beli
sembako di situ. Jadi, dia tak terima uang, tetapi dia ambil sembako.
Ketiga, e-Warung ini sekaligus tempat untuk menitipkan hasil produksi
KUBE. Dia, misalnya, bikin roti, es mambo, atau lainnya di rumah atau
ayamnya yang dipelihara bertelur dan sebagainya. Untuk menjadikan semua
itu uang, ia titipkan ke warung. Di sana menjadi tempat penjualannya.
Karena, peruntukkannya bagi kelompok (KUBE) itu juga.
Keluarga penerima PKH tak mesti punya gawai untuk mengakses e-Warung?
Oh, tidak perlu. Justru, web-based model itu memudahkan customers.
Cuma, memang, si agen harus ada sedikit IT yang dikuasai karena dia
harus mengerjakan.
Ini teknologinya. Kartunya itu--namanya
kartu BISA--diberikan karena untuk dipakai di situ (e-Warung). Tapi,
yang kita kembangkan adalah web-based model, yaitu tanpa kartu atau
bahkan tanpa telepon, dia tetap bisa dilayani.
Jadi, mereka
(penerima PKH) hanya kasih tahu nama lengkapnya, menyebutkan, atau nanti
akan dicarikan nomor rekeningnya di situ (e-Warung) juga. Dia punya
password, masukkan. Jelas komputerisasi.
Kemensos menyediakan warungnya secara utuh ataukah hanya melengkapinya dengan sejumlah gawai?
Warungnya
saja karena yang menyiapkan alat-alatnya adalah bank. Nah, warung ini
juga bagian dari Koperasi Masyarakat Indonesia Sejahtera. Ini diinisiasi
oleh Kemensos untuk terbentuk koperasi induk yang semua anggotanya
adalah masyarakat ini.
Begini. Koperasi ini sebetulnya tidak
menjual barang. Koperasi ini membantu si miskin bikin kontrak dengan big
supplier, terutama Bulog. Nah, Bulog yang memasukkan barang. Tapi,
harganya sudah dinegosiasikan dan ditentukan terlebih dulu. Jadi, bukan
orang miskin ini satu per satu bernegosiasi. Tapi, dia dikelompokkan
menjadi koperasi, lalu dia bernegosiasi. Karena, dia selalu kalah kalau
tak dibentuk dalam suatu kelompok besar.
Dikelola pusat,
koperasi itulah yang mengendalikan aturan mainnya warung ini. Termasuk
yang bicara ke bank, Bulog, retail-retail. Jadi, ada pemberdayaan
masyarakat dan juga penguatan masyarakat.
Kalau masyarakat
miskin itu ke sana ke mari, nggak ada yang memerhatikan. Mau masuk
kantor bank saja, mereka mungkin takut. Melihat bangunannya mengilap
begitu, takut. Koperasi induk itulah yang berbicara dengan BRI, Bank
Mandiri, dan BNI. Oke, kita bikin perjanjian, ya. Setiap saya (Kemensos)
bikin e-Warung, jadikan dia (e-Warung) agen bank.
Setiap e-Warung merupakan agen bank?
Memang agen bank. Maka itu, bank itu sudah diminta membuat agen
sebanyak mungkin. Jadi, nggak perlu buka cabang, tapi melayani customers
karena dia punya alat. Dia punya link ke bank. Jadi, orang mau
menyimpan uang dan membuka rekening di agen bank. Nah, sekarang kita
bikin e-Warung berfungsi sebagai tempat bisnis sekaligus dia menjadi
agen bank. Dan, milik orang miskin itu. Dikelola oleh orang miskin.
Kalau kita tak lakukan seperti ini, ya orang miskin itu jadi penonton
lagi.
Nah, itu supaya masyarakat miskin juga bankable
(terjangkau perbankan). Sebetulnya, agen bank itu di mana-mana ada. Bank
itu sudah bikin puluhan ribu. Bahkan, BRI punya banyak itu. Bulog juga
sudah bikin warung di mana-mana. Namanya, Rumah Pangan Kita (RPK). Tapi,
adakah agen atau RPK itu milik orang miskin? Tidak ada. Maka itu,
e-Warung ini milik orang miskin dan dikelola oleh orang miskin. Itu
bedanya. Itulah terobosan yang kita bikin. Lompatan kebijakan yang
dengan langsung (dukungan) teknologi.
Bagaimana bila masyarakat penerima bansos itu gagap teknologi?
Namun, apakah mungkin mengajarkan orang miskin sebanyak ini akan
teknologi? Mungkin. Karena, kita pendamping PKH yang sampai sekarang ada
sekitar 15 ribu orang yang tersebar. Dan, akhir tahun ini karena PKH
itu sudah sampai enam juta KK, pesertanya insya Allah sudah 26 ribu
pendamping. Satu orang mendampingi rata-rata 250 sampai 300 keluarga
PKH.
Nah, semua pendamping ini sarjana, melek IT (teknologi
informasi). Justru Kemensos manfaatkan literasi IT mereka agar mengajari
orang (keluarga PKH) di situ. Jadi, pendamping sebagai penanggung jawab
warung. Lalu, dia menunjuk dua-tiga orang keluarga di situ yang
mengoperasikan e-Warung. Karena, pendamping PKH tak boleh double job.
Itulah hakikat e-Warung.
Jadi, e-warung adalah bagian dari
koperasi. E-Warung juga merupakan tempat jual sembako murah. Banyak
sekali pemberdayaan sosial-ekonomi yang diemban e-Warung.
E-Warung ini sifatnya mobile. E-Warung (operasionalnya) tak bergantung
pada jam. Tak buka-tutup seperti warung biasa. Dia bisa menelepon
pendamping atau operator (e-Warung), misalnya, "Pak, saya mungkin tiba
di rumah baru bisa pukul 20.00. Tolong aku dibawakan Rp 200 ribu cash."
Nah, petugas itu akan datang ke rumahnya, membawakan ponsel atau gadget
itu, langsung di situ diisi. Oke. Password apa. Isi. Transaksi. Jadi,
seakan-akan mesin ATM dibawa ke situ. Uangnya dikasih Rp 200 ribu. Saldo
di rekeningnya berkurang Rp 200 ribu.
Bisa juga dia bilang,
"Pak, tolong nanti malam kalau main ke rumah saya, aku dibawakan beras
satu karung kecil lima kg." Sudah dibawakan. Harganya berapa, misalnya,
Rp 45 ribu. Klik-klik. Dikurangi (dari saldo rekening). Password-nya
dimasukkan. Sudah selesai. Ini yang kita berikan kemudahan kepada orang
miskin. Setiap hari Kemensos memikirkan bagaimana orang miskin
dimudahkan dan dia bisa cepat (terpenuhi kebutuhannya). Itu tugas kita.
Bisa dijelaskan secara garis besar apa itu KUBE?
Kita memang berikan bantuan ke KUBE-KUBE untuk mereka membuat suatu
usaha supaya mereka mendapatkan penghasilan. Di sisi lain, kita juga
menyiapkan e-commerce untuk menjual hasil-hasil itu. Namanya,
KUBE-pedia. Tahun ini sudah mulai bisa dilihat. Itu semacam toko daring.
Karena, tidak semua produk KUBE-KUBE bisa dititip di e-Warung.
Misalnya, di Mataram atau Padang. Di antara mereka kan ada yang
menenun. Kalau jualan hasil tenun kan nggak laku di kampung. Konsumennya
di luar. Sasarannya lintas provinsi. Maka, ada e-commerce.
Pihak mana saja yang memasok barang untuk e-Warung?
E-Warung menyediakan sembako. Dan, sembako harus murah. Dari mana dapat
yang murah? Kita kerja sama dengan Bulog sebagai supplier. Jadi, dia
yang nanti yang memasukkan beras, terigu, gula pasir, dan minyak goreng
untuk dijual di e-Warung. Otomatis karena bekerja sama dengan Bulog, ini
menjadi sentra untuk menjadi titik operasi pasar. Kalau Bulog nantinya
adakan operasi pasar, dia akan lempar (pasok sembako) di situ.
Tujuan lainnya, menghidupkan ekonomi lokal. Karena, sesuai arahan
Presiden juga, kalau di situ, misalnya, ada barang beras, nggak usah
lagi. Tinggal bicara Bulog. Beras ini yang diambil. Atau, misalnya,
daerah situ makanan pokoknya bukan beras. Dia makannya jagung. Ya sudah.
Jagung yang dijual. Bukan beras. Maka itu, memberikan fleksibilitas.
Selain Bulog, sekarang kita coba PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
BUMN juga itu. Ya kita coba BUMN dulu lah. Karena, kalau terjadi
apa-apa, gejolak, yang sudah disubsidi kan kitanya melalui jalur BUMN.
Berapa rupiah besarnya dana PKH tahun ini?
Hampir Rp 10 triliun untuk tahun ini. Ya, Rp 9,8 triliun. Itu sebelum
dipotong, ya. Setelah dipotong, saya belum tahu persis. Ya, dipotong
yang penghematan yang kemarin (skema pemotongan anggaran dari
Kementerian Keuangan untuk semua kementerian dan lembaga–Red).
Kami kena juga. Karena di sini (Kemensos), kalau bansos (dana bantuan
sosial) tak dipotong, sudah nggak ada lagi yang bisa dipotong. Karena,
bansos di sini 80 persen lebih. Dan, kalau dipotong yang lainnya, bansos
juga akan nggak jalan.
Ya, bagaimana? Masak cuma bagi uang
saja? Nggak ada yang monitor, penyiapan, dan sebagainya? Kan tak mungkin
juga. Disalurkan dalam empat kali. Jadi, per tiga bulan. Tetapi, tidak
rata. Tergantung dari berapa beneficiary dalam satu keluarga itu. Berapa
anak yang masuk. Tiap anak, sekolahnya SD atau SMP. Berapa ibu yang
hamil di keluarga itu, misalnya. Kan berbeda-beda.
Sekarang
sudah disalurkan tahap kedua. Jadi, saya kira, PKH sudah hampir
setengahnya (dari Rp 9,8 triliun). Sudah diserahkan saluran bantuan
tetap Rp 500 ribu. Sebetulnya, kita tak kaitan langsung dengan program
PKH-nya. Tetapi, targetnya sama. Karena kan prinsipnya, bagaimana orang
miskin ini kita bisa angkat. Jadi, target yang kita (program e-Warung)
kejar itu orangnya sama. Yang disasar oleh e-Warung sama juga dengan
yang disasar oleh PKH.
Berapa jumlah keluarga penerima PKH?
Sekarang itu ada 3,5 juta KK (kepala keluarga). Dan, akhir tahun insya
Allah menjadi enam juta KK di seluruh Indonesia. Dana PKH disalurkan ke
masing-masing rekening (penerima dana PKH).
Nah, ini rencananya
pada tahun depan--yang mana tahun ini adalah uji cobanya--rastra diubah
jadi bantuan sosial. Sudah bukan subsidi lagi. Masyarakatnya langsung
dikasih uang. Nilainya Rp 110 ribu, tapi tak boleh ambil tunai. Dia
harus ambil pangan. Kita siapkan pangannya di e-Warung.
Jadi,
nanti uangnya masuk ke rekening Rp 110 ribu, lalu dikonversi ke pangan.
Dia boleh ambil terigu, gula pasir, dan sebagainya sembako. Tergantung
jumlah uangnya saja. Dia nanti bisa kombinasi (jenis-jenis sembako yang
dibeli). Karena beras kan yang lima kg harganya sekitar Rp 48 ribu.
Tapi, tergantung kualitas berasnya.
Kalau dia bilang, "Ah,
anakku sukanya makan (nasi dari beras) Rojolele dan tidak perlu pakai
lauk kalau Rojolele." Ya berarti mungkin per kilonya harganya Rp 10 ribu
atau Rp 12 ribu. Berarti, dia terimanya 10 kg atau sembilan kg mungkin.
Bisa juga dia beli empat kg, lalu dia beli minyak goreng dan
sebagainya. Tapi, dia puas dengan uang (jatah rastra) itu.
Supaya tak ada pemotongan-pemotongan, penyunatan (bansos untuk fakir
miskin). Itu salah satunya (tujuan e-Warung). Jadi, memang, kalau arahan
Presiden itu, pertama, supaya lebih transparan, lebih mudah, gampang
di-trace aliran dananya, dan menghindari pemotongan.
Selain mudah terlacak, apa lagi keuntungan transaksi nontunai untuk penerima bansos?
Jadi, kalau dia bisa beli di situ lebih banyak. Pertama, mengapa dia
tertarik beli? Karena, harga lebih murah. Otomatis dia mau belanja di
situ (e-Warung). Dan, kebutuhan pokoknya memang pangan. Kalau rastra
yang uang e-voucher pasti tak boleh diambil tunai.
Yang kedua
ini kan PKH-nya. Memang ini tak dipaksa bahwa semuanya harus beli barang
karena ini kan haknya mereka. Dan, juga dia mungkin ada kebutuhan lain.
Misalnya, anaknya butuh sepatu sekolah. Sepatu nggak ada di e-Warung.
Atau, dia ongkos angkot. Itu kan juga dia butuh. Jadi, tak bisa dipaksa.
Namun, pasti sebagian dia belikan kebutuhan yang penting. Misalnya,
beras, minyak, terigu, dan gula.
Bank mana saja yang sudah terjalin kerja sama untuk mendukung e-Warung?
Nanti, semua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) ikut semua.
Sekarang dengan BRI, BNI, dan akan menyusul Mandiri, kemudian BTN.
Seperti, misalnya, BRI baru meluncurkan satelit. Dalam konteks pemikiran
itu juga. Dalam pembagian, kita rencanakan, luar Jawa itu kita kasih
BRI. Karena, dia nanti bisa menjangkau ke pelosok menggunakan satelit.
Jadi, selama ini penggunaannya di PT Pos. Pengirimannya bansos itu. Nah,
kini sekarang kita ubah ke sistem bank.
Berapa target cakupan e-Warung untuk skala nasional?
Dari pertama, Juni 2016 kita mulai, itu baru Malang yang 100 persen.
Jadi, modelnya itu diluncurkan, lalu dikembangkan sampai semua (penerima
PKH) bisa dilayani. Minimal, satu kecamatan satu (e-Warung).
Bu Menteri menargetkan kita, tahun ini harus bisa dapat paling tidak 300
e-Warung. Idealnya, satu e-Warung untuk melayani maksimum seribu (KK
penerima PKH). Karena, kita sudah hitung, kalau seribu itu, satu orang
yang melayani, bisa dilayani sampai 10 hari.
Artinya, ini
jangan dibayangkan seperti kantor pos, ya. Kalau kantor pos kan, dia
datang, nggak kenal siapa yang datang. Kalau ini kan dia kenal (dengan
pengelola e-Warung). Mereka saling mengenal. Itu komunitasnya sendiri.
Jadi, bisa saling ngomong.
"Koe sesuk wae, yo?" misalnya
begitu. Kamu hari apa. Mereka kompromi saja. Dan, bahkan, lantaran ini
bentuknya koperasi, bisa saja, misalnya, karena kemarin ada kebutuhan
mendesak, misalnya, berasnya habis, uangnya dipinjam dulu di koperasi
untuk beli beras. Bisa saja. Karena, Rp 110 ribu itu nggak cukup.
Bisa dijelaskan, secara garis besar apa saja yang diperoleh penerima bansos dengan PKH?
Berasnya cuma 12 kg. Satu bulan dia butuh 30 kg sampai 40 kg. Satu
orang kebutuhannya 0,3 kg, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), per
hari.
Kalau PKH, lumayan. Tapi, dia per tiga bulan kan. Ada
yang Rp 450 ribu. Ada yang Rp 750 ribu. Macam-macam. Tidak sama karena
tergantung jenis yang dimasukkan benefitnya.
Misalkan, dia
hamil maka dapat Rp 1,2 juta. Itu dibagi empat penerimaan. Tapi, kalau
dia juga punya bayi, berarti Rp 2,2 juta dia bisa dapat. Kalau dia punya
anak SMA, berarti dia tambah lagi Rp 1 juta. Itu per tahun dia terima
sekian kali.
Itu kalau dia penuhi kewajibannya. Misalnya, anak
harus masuk 100 persen sekolah. Kalau kurang dari 80 persen, uangnya
dipotong. Yang memantau, ada pendamping PKH tadi. Kalau dia tak pernah
memeriksa kehamilannya sebagai ibu hamil, dia uangnya dipotong. Ya
sampai detail begitu. Itulah kehebatan program PKH untuk memutus rantai
kemiskinan. Anak harus sehat dan berpendidikan.
Apa saja kriteria keluarga penerima PKH?
Oh, itu sudah ada daftar. Jadi, itulah yang dimaksud dengan basis data
terpadu (BDT) yang dikelola oleh Kemensos. Jadi, Kemensos menurut aturan
perundang-undangan berhak mengelola BDT. Tapi, itu 2015 sudah dicek
oleh BPS. Itu diserahkan ke kita. Itu yang kita update terus-menerus.
Jadi, kita punya data 40 persen orang yang paling bawah (tingkat
ekonominya) di Indonesia. Jadi, sampai 40 persen dari jumlah penduduk
Indonesia yang menengah ke bawah. Kemudian, diambil yang terbawah 10
persen hingga 11 persen. Inilah yang masuk PKH. Jumlahnya, ya itu yang
enam juta keluarga. Itu target kita tahun ini.
Nah, penerima
rastra itu ada di 25 persen. Itu sekitar 15,5 juta keluarga. Nah, angka
kemiskinan berapa? Sebelas persen. Jadi, yang menerima rastra itu
sebetulnya jauh lebih besar daripada jumlah orang miskin (menurut angka
kemiskinan). Mengapa begitu? Karena, banyak orang yang di atas garis
kemiskinan, itu cuma bertahan beberapa lama, lantas masuk lagi (ke bawah
garis kemiskinan).
Orang ini, misalnya, sekarang dia bekerja
disensus, nggak miskin. Lantas, disensus lagi tiga bulan kemudian,
ternyata proyeknya (tempat orang itu bekerja) sudah selesai. Maka, dia
miskin lagi. Karena, dia nggak punya tabungan kan.
Apa definisi garis kemiskinan menurut Kemensos?
Itu ya kita mengikuti BPS. Kriteria yang digunakan sama dengan BPS.
Yaitu, mulai dari rumah tinggal--ada 14 variabel kriteria yang
digunakan. Di situ kita tak menghitung penghasilan. Jadi, kalau di
Indonesia itu, tak menggunakan penghasilan (sebagai variabel mencari
orang miskin). Tapi, pengeluaran (spending). Jadi, mereka ditanya
spending.
Ada dua pendekatan, spending atau kalori yang ia bisa
penuhi. Berapa banyak dia spending? Nanti kelihatan. Kalau, misalnya,
di daerah ini Rp 1.340.000 per keluarga per bulan, ternyata dia hanya
bisa spending Rp 900 ribu, berarti sudah di bawah dia. Kalau dia bisa Rp
1,5 juta, berarti dia sedikit di atas garis kemiskinan. Itu standarnya.
Tetapi, untuk kriterianya, itu dilihat rumahnya--dinding, lantai, dan
atap--kemudian dia masak pakai apa, toilet rumahnya. Lalu, berapa jumlah
anggota keluarga yang ia tanggung. Berapa kali ia bisa makan daging.
Berapa kali ia bisa beli baju dan seterusnya. Itu yang dipakai dalam
rangka membuat peringkat orang.
Bagaimana penerimaan masyarakat sejauh ini terhadap e-Warung?
Oh, mereka senang sekali. Ketika ditanya Bu Menteri, "Pernah ke ATM
nggak?" jawabnya nggak pernah. Sekarang Bapak dapat kartu ATM. Artinya,
ada rasa kebanggaan bahwa dia sangat dihargai juga. Dia sama dengan
masyarakat lain dalam hal keuangan. Kemudian, ada rasa kian percaya
diri. Dan, dari sana juga langsung ada perubahan pola pikir dari mereka.
Banyak yang positif. Dia lihat warung saja, langsung dia berpikir
dagang.
Karena sebelum ini, nggak ada. Dia memulai sesuatu itu
harus dia pajang di rumahnya sendiri atau tawarkan saudaranya supaya
beli. Kalau sekarang, betul-betul ada tempat, dia bisa.
Terus
sekarang, ada IT. Itu langsung berpikir. Wah, iya saya nggak bisa. Tapi,
anak saya bisa dan harus bisa (mengakses teknologi). Itu luar biasa
positif mindset itu. Dan, memang itu yang kita semua inginkan.
Teman-teman bilang, "Wah, berani sekali dengan elektronik warung itu."
Ya kami berani karena ada para pendamping (PKH) tadi yang mengerti.
Jadi, dia mudah.
Pengalaman di beberapa kota ini, dia yang
diajari oleh bank, cepat banget. Nah, karena mereka sudah biasa pakai
ponsel pintar. Simpel banget kok. Hanya mengeklik. Dibuka. Masukkan
password.
Artinya, penetrasi inklusi uang elektronik atau
nontunai sangat rendah dibanding negara-negara tetangga. Maka itu,
sekarang didorong supaya ini bisa benar-benar cepat. Sekalian langsung
masuk ke bawah. Karena, kalau hanya menunggu dari kalangan kaya, kalau
tak ada gerakan, saya kira agak sulit. Tergantung kebiasaan mereka. Nah,
kalau ini, mereka diajarkan.
Dan, ini membuat pola pikir
mereka berubah. Mereka merasa setara. Persoalan di masyarakat kan mind
set. Nggak ada beda kita dengan orang miskin. Otaknya sama. Hanya beda
pada cara pandang terhadap persoalan.
Kita berpikir, anak kita
harus sekolah. Karena, kita tahu dari penelitian, pengalaman, bacaan
kita, orang yang berpendidikan lebih gampang survive hidupnya, dan lebih
bermanfaat. Kalau mereka, berpikirnya lain lagi, "Ngapain sekolah?
Anaknya Pak Lurah tuh, punya motor, kaya juga meski pengangguran,
padahal sudah sarjana." Karena, yang dia (orang miskin) lihat itu. Dia
tak pernah membaca. Hanya karena cara berpikirnya saja yang sedikit
beda, dia tak mau sekolahkan anaknya.
Itulah gunanya pendamping
PKH datang, mengajarkan dia supaya dia berpikir luas. Rekrutmennya
(pendamping PKH) sangat ketat. Ada administrasi dulu. IP-nya (selama
menjadi mahasiswa) berapa. Sudah itu, tes tertulis, kemudian wawancara.
Sekarang, ada 16 ribu pendamping PKH. Akhir tahun ini naik jadi 26 ribu
pendamping PKH. Selain itu, kita ada TKSK, tenaga kesejahteraan sosial
kecamatan. Itu relawan yang mendampingi masyarakat.
Direktorat jenderal yang Anda pimpin ini terbilang baru. Apa tantangan terberat menakhodai ditjen ini?
Kalau
yang di dalam UU itu, tak dibedakan antara fakir dan miskin. Jadi, itu
satu kata. Orang yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada lagi
istilah baru dalam BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) itu atau
PBI (Penerima Bantuan Iuran), tidak mampu. Karena, kita perlu memasukkan
tidak mampu.
Kalau kita hanya bicara fakir miskin, itu
sebenarnya hanya 11 persen itu. Bukan sampai 93 juta tadi. Tapi, 20 juta
lebih. Karena BPS menyatakan, garis kemiskinan sekarang itu di angka
10,98 persen. Mendekati 11 persen lah. Artinya, di atasnya itu nggak
miskin menurut BPS. Tapi, kan kita tak mungkin mencari batasannya di
lapangan itu persis.
Kalau Anda melihat orang miskin di
lapangan secara visual, itu nggak bisa secara kasat mata membedakannya.
Karena, variabelnya banyak sekali. Menentukan peringkat mana bawah, mana
atas, itu ada 40 variabel yang kita gunakan. Januari, direktorat
jenderal ini dibangun. Yang utama sekarang, penurunan angka kemiskinan
dan perbaikan angka kesenjangan, rasio gini. Itu harus kita turunkan.
Dan, itu tak mudah.
Caranya yang pertama harus kita pikirkan
adalah bagaimana supaya ketepatan sasaran bantuan. Jadi, itu berhubungan
dengan data. Ini yang kita sedang olah, bersama-sama dengan pusat data
dan informasi (pusdatin), bagaimana supaya data penerima PKH ini juga
menjadi data penerima rastra.
Data itu agar bisa berasal dari
satu sumber dan menjadi semua terintegrasi. Karena, pengalaman dari
survei yang lalu-lalu, itu masih banyak orang yang penerima PKH,
misalnya, tapi tidak menerima rastra atau raskin. Ada beberapa yang
sudah dapat PKH, belum menerima Kartu Indonesia Sehat.
Seberapa besar dampak pendataan untuk mengoptimalkan bansos?
Harusnya kan kalau secara hierarki struktur data BDT satu, mestinya
sumbernya satu, dapat semua. Karena, dia (termasuk) yang paling di
bawah. Otomatis dia harus dapat semua dong/. Nah, ini di lapangan
ternyata masih banyak yang tidak. Ini yang sedang kita godok. Bagaimana
supaya sinkron semua supaya dia betul-betul beririsan begitu. Bahwa dia
mendapatkan bantuan semua, yang bawah ini.
Data dari BPS,
induknya itu. Tetapi, sesuai dengan UU Penanganan Fakir Miskin Nomor 13
Tahun 2011, itu yang menentukan data dari lapangan itu, pemerintah
daerah. Dan, itu kan dinamis angkanya. Tidak bisa, BPS kasih angka itu,
lalu tak berubah seterusnya. Ini terus-menerus. Setiap hari ada yang
meninggal, ada yang datang, membuat keluarga baru dan miskin, mungkin.
Setiap hari ada orang yang tiba-tiba tak miskin karena mungkin bisa
survive dapat penghasilan. Dinamika begitu-begitu yang mesti kita
tampung dari daerah-daerah, pemda-pemda.
Sesuai dengan
undang-undang itu, yang berhak mengajukan ke Kemensos itu bupati atau
wali kota. Mengajukan nama penerima (program-program bantuan Kemensos).
Kita harus membedakan antara penerima dan data kemiskinan. Yang kita
miliki adalah data peringkat orang. Kita tak bilang siapa yang miskin.
Tetapi, tentu yang paling bawah adalah yang paling miskin. Yang kedua.
Yang ketiga. Yang keempat. Sampai ke-93 juta orang.
Kita punya
nama 93 juta orang (di dalam BDT). Saya tak menyatakan siapa yang miskin
di sini. Tapi, yang paling bawah itu yang ini. Sekarang, kita ada
bantuan. Bantuan ini ada kuotanya, tergantung dari politik anggaran dan
berapa keinginan pemerintah untuk memberikan bantuan.
Kalau
pemerintah bilang, "Oke, kami punya uang. Boleh memberikan kepada 93
juta orang." Berarti semua masuk. Kalau dia bilang, "Oke, kami punya
uang. Tetapi, kami hanya berikan ke enam juta orang." Oke, berarti kita
cari mulai dari bawah ini. Inilah yang sekarang kita susun ini. BDT ini
yang kita maintain.
Pemda lain lagi. Listrik, dia minta ke sini
juga datanya. "Ini, Pak, ada yang 900 Watt. Ini kami mau lihat, 900
Watt orang yang ada namanya dalam BDT dan yang tak ada namanya dalam
BDT." Artinya, kalau ada namanya dia dalam 93 juta ini, itu dapat
subsidi. Kalau ada orang mendaftar, tetapi namanya tidak ada di antara
93 juta ini, dia harus bayar normal.
Beda lagi dengan rastra
tadi. Maunya kasih 15,5 juta keluarga. Berarti dia hanya 25 persen.
Paling bawah yang diambil. Beda lagi PKH. PKH bilang, uangnya adanya
hanya 11 persen. Ya sudah, ambil 11 persen dari yang paling bawah tadi.
Berarti logikanya apa? Yang paling bawah ini dapat semua bantuan.
Mengapa bansos masih berupa bantuan dana segar meskipun kini mulai dengan mekanisme nontunai?
Jadi, konsepnya kita itu, ada cash transfer, yaitu PKH. Menurut Bank
Dunia dan penelitian-penelitian yang ada, cara yang paling gampang untuk
membuat orang menjadi tak miskin itu cash transfer. Kasih uang. Bukan
pemberdayaan semata. Orang kalau makannya nggak cukup, Anda nggak bisa
berdayakan. Kalau Anda makan cuma sekali sehari, lalu ke sana ke mari
mengais, lalu Anda disuruh berdagang, kasih uang Rp 1 juta, uang ini
akan habis dimakan. Jadikan dulu makan tiga kali sehari. Berarti, uang
Rp 1 juta itu untuk (biaya) makan dua kali sehari. Karena nggak cukup,
kan? Maka itu, dikasih cash dulu. Supaya dia cukup.
Sementara
ia dikasih cash itu, mulai stabil hidupnya, lalu dia dikasih
pemberdayaan. Itulah yang di kami, KUBE tadi. Supaya dia bisa ada
penghasilan. Kalau dia sudah ada penghasilan, PKH-nya disetop. Ia sudah
bisa survive. Jadi, itu istilahnya tangga yang harus dilalui. Itulah
graduasi. Begitu dia keluar dari PKH, dianggap dia sudah tak masuk ICU
(gawat darurat). Rasio gini kita cukup mengkhawatirkan. Targetnya itu
mestinya 0,36 poin pada 2019. Untuk itu, kita mesti berpikir out of the
box.
Itu mudah-mudahan kita bisa mencapainya. Semua yang kita
lakukan adalah bagaimana dengan pemberdayaan itu orang bisa dapat
pekerjaan. Jadi, bukan semata-mata kasih uang. Bagaimana juga orang bisa
lapangan kerja terbuka. Distributor atau Bulog itu kan biasanya
menyiapkan karung beras. Satu karung itu dia kirim ke rumah masyarakat
di dekat e-Warung itu. Lalu, beberapa masyarakat miskin di situ akan
mengerjakan packing ukuran dua kg (beras) itu. Nah, kerja itu satu
penghasilan. Lalu, dia dibayar. Nah, ini membuka lapangan kerja juga.
Jadi, kami mencoba untuk mencari terobosan yang sederhana, tetapi
bermakna besar buat mereka. Karena, terkadang kita ini berpikir terlalu
jauh. Padahal, mereka butuhnya yang simpel saja di lapangan.
ed: Hafidz Muftisany
***
Bank Dunia Pun Belajar dari Kemensos
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis data terbaru mengenai
ketimpangan, Jumat (19/8). Rasio gini pada Maret 2016 terpaut pada poin
0,397. Artinya, ada penurunan dibandingkan Maret 2015 yang sebesar 0,408
poin. Rasio gini yang di bawah angka 0,4 poin bermakna tingkat
ketimpangan suatu negara terbilang rendah.
Dirjen Penanganan
Fakir Miskin Kementerian Sosial (Kemensos) Andi ZA Dulung menjelaskan,
pemerintah menargetkan rasio gini menjadi 0,36 poin pada 2019. Sehingga,
kata dia, perlu upaya yang lebih inovatif untuk mengangkat derajat kaum
papa di Indonesia. Salah satunya, pemerintah dapat memasukkan hasil
kajian sejumlah lembaga internasional yang juga bercita-cita pengentasan
kemiskinan. Menurut riset Bank Dunia, ungkap Andi, pemerintah suatu
negara hendaknya memerhatikan skala prioritas bentuk bantuan untuk
membangkitkan nadi perekonomian orang miskin.
"Menurut Bank
Dunia dan penelitian-penelitian yang ada, cara yang paling gampang untuk
membuat orang menjadi tak miskin itu cash transfer. Kasih uang. Bukan
pemberdayaan semata. Orang kalau makannya nggak cukup, Anda nggak bisa
berdayakan," papar Andi ZA Dulung saat ditemui di kantor Kementerian
Sosial, Jalan Salemba Raya No 28, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Filosofinya, lanjut dia, setidaknya pemerintah harus menjamin
keberlangsungan hidup orang yang kurang beruntung dari segi ekonomi.
Maka, bantuan tunai diberikan dengan tujuan, antara lain, agar kebutuhan
pangan pokok sehari-hari mencukupi. Menurut BPS, ujar Andi, setiap
orang normalnya membutuhkan makanan 0,3 kg beras per hari.
"Kalau Anda makan cuma sekali sehari, lalu ke sana ke mari mengais, lalu
Anda disuruh berdagang, dikasih uang Rp 1 juta, uang ini akan habis
dimakan. Maka itu, dikasih cash dulu. Mulai stabil hidupnya, lalu dia
dikasih pemberdayaan. Supaya dia bisa ada penghasilan," katanya.
Dia menegaskan, tak ada perbedaan yang mendasar antara orang miskin dan
yang tak miskin. Namun, faktor pola pikir cukup menentukan sejauh mana
kesenjangan sosial terjadi.
Andi mencontohkan, bagi keluarga
miskin, sering kali pendidikan formal dianggap bukan sebagai kebutuhan
yang harus dipenuhi—lepas dari soal apakah keluarga ini mampu
menyekolahkan anaknya. Ayah dari si anak miskin itu lantas melihat
sekelilingnya dan menemukan, tanpa sekolah pun seseorang bisa
mendapatkan kehidupan yang kelihatannya nyaman.
"Itu anak pak
lurah, nggak sekolah, tapi bisa bawa motor bagus. Sedangkan, bagi kita,
misalnya, sekolah itu, ya kebutuhan. Karena, kalau nggak sekolah,
bagaimana saya atau Anda bisa seperti sekarang ini?" ucapnya.
Lantaran berakar pada pola pikir, lanjut Andi, kesenjangan sosial
menjadi berbahaya bila diwarnai sikap iri. Pemicunya, antara lain,
kecenderungan untuk mempertontonkan kemewahan di tengah masyarakat yang
heterogen secara ekonomi. Karena itu, perlu mempertemukan pola budaya
antardua kelas sosial. Itulah yang coba dihadirkan Kementerian Sosial
dengan menyalurkan bantuan sosial (bansos) secara nontunai. Selama ini,
fasilitas perbankan hanya umum dinikmati kalangan kelas menengah ke
atas. Kini, jelas Andi, pelan-pelan masyarakat miskin diajarkan untuk
merasakan sistem keuangan nontunai.
Andi mengenang, kecambah
ide penyaluran bansos via nontunai berawal dari obrolan ringan serta
focus group discussion (FGD) yang kerap ia lakukan bersama rekan-rekan
kerjanya. Mereka berasal dari beragam bidang keilmuan, khususnya ahli
ekonomi, pakar teknologi informasi (IT), serta pihak Kementerian
Koperasi UKM.
Sebelumnya, ia berpikir bahwa koperasi mesti
diperbanyak dan tersebar merata agar sistem cashless bansos bisa
efektif. Namun, setelah dipelajari lebih lanjut, Kemensos hanya perlu
membentuk satu koperasi yang sifatnya memusat dan membawahi semua
pemberdayaan masyarakat di Indonesia. "Tadinya saya pikir, koperasi
mesti banyak begitu. Ternyata itu juga satu masalah nanti kalau
koperasinya banyak. Akhirnya, kita buat satu saja koperasinya. Koperasi
Masyarakat Indonesia Sejahtera."
Hasilnya cukup menggembirakan
sejauh ini. Malahan, Andi mengungkapkan, ide penyaluran bansos di
Indonesia mendapatkan apresiasi dari Bank Dunia. Itu mencuat dalam
sebuah kesempatan pertemuan internasional di Manila, Filipina, beberapa
waktu lalu. Kala itu, Andi diminta untuk berbagi metode pengentasan
kemiskinan di Indonesia kepada negara-negara berkembang yang bekerja
sama dengan Bank Dunia.
"Terakhir, saya panggil Bank Dunia.
Saya pikir, awalnya Bank Dunia mau kritik. Tapi, malah dia bilang, wah
ini bagus sekali, boleh nggak idenya saya pakai untuk ke luar negeri?
Alhamdulillah. Itu ide dari Indonesia yang bisa dipromosikan ke luar,"
ujar penyuka olahraga golf ini.
sumber :
http://www.republika.co.id